Dunia Ikut Tertawa

#ceritaanak

 

Seperti biasa, Beby pulang sekolah sendirian. Ia tidak bergerombol bersama teman-teman lainnya. Beby memang bisa dibilang tidak punya teman akrab.

Mengapa?

Mungkin karena Beby terlalu pendiam dan pemalu. Beby jarang bicara kalau tidak ditanya. Tak heran, temannya mungkin hanya Ela, teman sebangkunya.

Jika Ela tidak masuk karena sakit seperti ini, Beby sendirian saja. Di kelas sendirian. Istirahat sendirian. Jalan ke mushala untuk shalat zuhur berjamaah juga sendiri. Pulang pun sendiri.

Mengapa Beby pemalu dan pendiam?

Mungkin karena Beby merasa dirinya bukan anak orang kaya. Berbeda dengan kebanyakan teman-teman sekolahnya, Papa Beby bekerja sebagai supir bajaj. Sementara papa teman-temannya kebanyakan bekerja sebagai pegawai di kantor.

Beby tak pernah diantar jemput naik motor atau mobil. Ia jalan kaki sendiri. Beby tak punya tas yang cukup bagus. Ia hanya punya tas bergambar kucing, bekas Sasa, kakaknya.

Beby juga tak secantik Intan dan Seila. Beby tak selincah Nena dan Rara. Beby terlalu sederhana dan seadanya. Itu juga menyebabkan Beby menjadi pemalu.

Sedang asik-asiknya berjalan, tiba-tiba sebuah mobil membunyikan klakson di belakang Beby. Tentu saja Beby terkejut dan menoleh ke belakang.

“Ayo, Beb, pulang bareng yuk. Rumahku kan searah dengan rumahmu. Ayo naiklah”, ajak Intan dari dalam mobil.

Beby kembali terkejut. Benarkah? Intan mengajaknya pulang bareng?Ragu-ragu Beby naik ke mobil Intan yang bagus dan mengilat itu. Bukankah selama ini Intan tak pernah menegurnya? Apalagi mengajaknya pulang bareng. Wah, apakah ia bermimpi?

Sepanjang perjalanan, Intan dengan ramah mengajaknya ngobrol. Beby hanya sesekali menjawab sambil malu-malu. Dalam hati, Beby mengomeli dirinya sendiri, kenapa sih penyakit malu ini nggak sembuh-sembuh juga?

Intan mengantar Beby hingga di mulut gang. Sebelum turun Intan bertanya, “Beby, kamu mau berteman denganku?”

Aduh, tentu saja. Beby gembira sekali. Selama ini kan Beby sebenarnya ingin sekali punya teman dekat. Bukan hanya dengan Ela saja.

“Te… tentu saja, In. Aku… aku senang sekali…” jawab Beby terbata-bata.

“Terima kasih ya, Beb”, Intan melambaikan tangan dari jendela mobil.

Hari ini Beby bahagia sekali. Akhirnya ia bisa menambah teman! Intan? Siapa yang tak kenal Intan di sekolah?

Intan cantik jelita, kaya raya, dan suka mentraktir teman-temannya jajan.

Tapi Beby berteman dengan Intan bukan karena itu. Ia hanya ingin berteman dengan siapa saja. Itu saja.

Kini Beby dan Intan terlihat seperti dua orang sahabat. Kemana-mana bareng. Makan di kantin, mengerjakan PR, bahkan sekarang Beby ikut ekskul Pramuka dan Menyanyi bersama Intan.

Perlahan Beby mulai menambah teman. Keceriaan dan keramahan Intan menular kepadanya. Beby mulai bisa tersenyum dan tertawa saat ada teman yang melucu. Beby mulai melupakan rasa malunya. Toh, tidak ada seorangpun temannya yang meledek Papanya yang supir bajaj itu.

 

Beby kini merasa hidupnya lengkap. Ia menyadari bahwa ia sebenarnya pintar. Beby kan selama ini selalu juara kelas. Namun ia penyendiri, jadi tak ada yang berani dekat-dekat dengannya.

Namun kembali Beby mendapat masalah. Intan ternyata suka menyontek PR dan ulangannya. Intan malas belajar dan mengerjakan PR.

Akibatnya, Beby yang menjadi korban. Intan selalu membujuknya memberi contekan. Kadang jika tidak diberi contekan, Intan ngambek dan mendiamkannya sepanjang hari. Ela yang sudah kembali masuk, sudah mengingatkan Beby untuk hati-hati pada Intan.

Puncaknya waktu ulangan matematika. Intan marah karena Beby tidak mau memberi contekan. Saat istirahat, Intan mendatangi meja Beby dan mengata-ngatai Beby.

“Dasar anak tukang bajaj. Sok pintar. Pelit lagi! Yeee… dasar sok. Anak tukang bajaj nggak ada temannya… Yeee!” begitu Intan mengata-ngatai Beby. Di sampingnya ada Seila, Nena, dan Lusi, sahabat-sahabat Intan yang juga ikut memandanginya dengan menghina.

“Selama ini juga aku berteman denganmu kan karena aku tahu kamu pintar. Tapi kalau kamu sok begini, aku malas. Apalagi kamu cuma anak tukang bajaj!” sambung Intan.

Beby sedih sekali. Saking sedihnya, ia tidak bisa berkata apa-apa. Perlahan air matanya mulai turun.

Ela, Iggi, dan Risma, sahabat-sahabat barunya, datang dari kantin dan melihat Beby menangis. Mereka tidak terima Beby dihina begitu. Ela dan Risma segera mendekati Beby. Sementara Iggi yang paling berani, memarahi Intan dan teman-temannya.

“Sudahlah, Beb. Untuk apa memaksakan tetap berteman dengan anak yang jelek sikapnya begitu?” hibur Ela.

“Iya, Beb. Kan ada kita-kita? Sahabat sejati kan nggak memandang kaya atau cantik atau pintar kan?” sambung Iggi.

Risma menepuk-nepuk pundak Beby yang masih menangis.

Alhamdulillah. Subhanallah. Engkau masih memberikan aku sahabat sejati. Aku tadinya menyangka sahabatku adalah Intan. Ternyata dia hanya teman yang tidak tulus. Beby sangat bersyukur memiliki sahabat-sahabat sebaik Ela, Iggi dan Risma.

Sahabat sejati tidak hanya ada ketika dia butuh kita. Dia ada dalam susah dan senang. Dia mau menerima kita apa adanya. Sekarang Beby, Ela, Iggi, dan Risma sering bermain bersama. Mereka tertawa-tawa bahagia dan duniapun ikut tertawa karena ketulusan persahabatan mereka.

 

#30DEM

#30DaysEmakMendongeng

#day23

#Hatiyanglemahlembut

Posted in fiksi, Uncategorized | Tagged , , | Leave a comment

Kain Perca Bunda Upit

#ceritaanak

 

Bukan salah Upit jika ia dilahirkan bukan sebagai anak orang kaya, meski juga bukan anak orang yang sangat miskin. Namun kadangkala timbul rasa rendah dirinya mengingat ia termasuk salah satu dari sedikit siswa di SD Putra Bangsa yang tidak diantar jemput oleh mobil.

Tiap pagi, Upit naik angkot ke sekolah dan begitu pula setiap pulang sekolah. Pernah sesekali Upit ingin bertanya pada Bundanya “Apakah tidak sebaiknya kita mulai menyicil membeli mobil saja, Bunda?”. Namun untunglah, hal itu urung ia tanyakan karena ia tak tega.

Ayah Upit seorang pegawai negeri biasa sementara ibunya seorang penulis. Untuk menambah penghasilan, ibu Upit yang biasa dipanggil ketiga anaknya dengan Bunda, menitip berjualan kue-kue atau masakan di kantin sekolah Upit. Karena Bunda pandai memasak, hampir semua murid dan guru suka pada kue dan masakannya. Bunda Upit juga menjual hasil jahitannya yang terbuat dari kain daur ulang.

Suatu hari, diumumkan oleh Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan bahwa setiap anak di SD Putra Bangsa wajib mengikuti minimal satu ekskul (ekstra kurikuler) dan nilainya akan dimasukkan ke rapor. Sebelumnya tidak ada kewajiban tentang ekskul ini.

Semua murid berbondong-bondong mendaftar masuk ekskul yang mereka minati. Apalagi di SD Putra Bangsa banyak sekali ekskul yang ada. Dari mulai olahraga hingga seni dan ketrampilan. Sayangnya biaya mengikuti ekskul itu tidaklah murah, sekitar 200 ribu rupiah per semester untuk tiap ekskul dan harus dibayar lunas di awal semester.

Upit sudah menghitung berapa banyak ekskul yang ia minati. Dari bidang olahraga, ia ingin ikut renang, dan salah satu bela diri apa saja, boleh silat, aikido, tae kwon do, wushu, ataupun karate. Dari bidang seni ia ingin ikut piano, paduan suara, melukis, dan menari. Dari bidang ketrampilan ia ingin ikut komputer, bahasa Inggris, drum band, dan baris berbaris. Upit memang termasuk siswa yang cerdas dan menaruh minat pada banyak hal. Namun saat mengingat biaya yang harus dikeluarkan ayah dan Bunda, Upit menjadi ciut sendiri.

Suatu siang, sepulang sekolah, Upit mendapati Bunda sedang menjahit di ruang kerjanya. Sesekali Bunda juga menerima pesanan jahitan.Bunda suka mendaur ulang kain-kain sisa, atau yang sering disebut juga kain perca. Kain perca itu dijahit dan disusun sedemikian rupa sehingga menjadi seprai, bed cover, sarung bantal, taplak meja, dan tutup aqua. Biasanya Bunda meminta dari tukang jahit, karena mereka banyak mempunyai kain sisa yang tak terpakai. Sayang daripada dibuang, kita daur ulang saja, begitu kata Bunda.

“Kamu sudah mendaftar ekskul, Pit?” tanya Bunda tiba-tiba setelah Upit membawa makan siangnya ke tempat Bunda menjahit.

“Belum, Bun” jawab Upit lesu.

“Kenapa?” tanya Bunda sambil menggunting benang yang tersisa.

“Nggak apa-apa kok, Bun”

“Nanti waktu pendaftaran keburu habis lho”

“Biar saja. Upit nggak apa-apa nggak ikut ekskul juga”

Bunda tersenyum.

“Serius nih? Setahu Bunda kamu malah ingin ikut banyak ya?”

Upit tentu saja terkejut. Dari mana Bunda tahu ya?

“Ah, betul kok, Upit kan sudah langganan juara kelas dari kelas satu sampai kelas tiga kemarin, jadi rasanya nilainya sudah cukup dan nggak harus ikutan ekskul segala” elak Upit tidak enak hati.

“Kamu yakin begitu? Memangnya kamu nggak ingin punya banyak ketrampilan dan pengalaman baru dengan ikut ekskul? Lagipula waktunya kan pulang sekolah dan hari sabtu, jadi Bunda pikir nggak ganggu belajarmu juga. Asal kamu tetap pandai mengatur waktu dan menjaga kesehatanmu, Bunda rasa bagus kok”

Upit makin terkejut. Dari mana Bunda tahu jalan pikirannya?

“Bunda…” Upit mau bertanya tapi ragu-ragu.

Dengan penuh sayang, Bunda membelai rambut Upit. “Upit lupa ya kalau Upit punya diary yang selalu Upit isi di sekolah dan tiap pulang sekolah harus dibaca orang tua? Maaf ya kalau Bunda terdengar lancang karena membacanya”

Oh iyaaa… Upit tersenyum malu sambil menepuk jidatnya. Ah betapa malunya terbuka rahasianya di depan Bunda.

“Iya sih, Bun, tapi kaaan…” Upit menggantung ucapannya, takut Bunda menjadi sedih.

“Jangan khawatir, Sayang. Kemarin Bunda sudah menghadap Bu Asti, Wakil Kepala Sekolahmu. Kata beliau, kamu boleh mendaftar semua ekskul yang kamu inginkan dengan syarat kamu lulus tes awalnya. Kamu boleh mencicil, bahkan gratis jika nilai tes awalmu tertinggi diantara teman-teman yang lain”

“Kok bisa gitu, Bun? Kan nggak ditulis di surat pengumumannya?” Upit heran sekali.

“Memang tidak ada, Pit. Tapi Bunda rasa tidak adil bukan jika ada anak yang berminat pada ekskul itu namun tidak punya biaya? Maka Bunda pikir harus ada kebijakan lain. Naaah, Bunda segera ketemu Bu Asti. Gimana? Oh ya, Bu Asti juga memborong banyak hasil jahitan Bunda lho. Lumayan buat tambah-tambahan membayar biaya sekolahmu.”

“Tapi kalau tes awalnya susah gimana, Bun?”

“Aih, masak sang juara kelas mudah putus asa begitu? Ayo Bunda ajari. Sedikit-sedikit Bunda juga bisa kok. Kamu ingat kan, dulu waktu sekolah Bunda ikut banyak ekskul juga? Lagipula kan Bunda sering mengajarimu sedikit demi sedikit toh?”

 

Maka selama beberapa hari, Upit berlatih beberapa bidang ekskul bersama Bunda yang ternyata mantan pelajar teladan semasa SD hingga SMA bahkan pada waktu kuliahnya. Upit berlatih dengan gigih agar bisa ikut semua ekskul yang ia minati.

Syukurlah ketika nilai tes awal diumumkan, Upit selalu masuk tiga besar. Maka Upit tentu saja berhak memperoleh fasilitas gratis pendaftaran ekskul. Betapa senangnya hati Upit. Ia sangat berterima kasih kepada Bundanya yang cerdas, pintar dan gigih.

 

#30DEM

#30DaysEmakMendongeng

#Day22

#daurUlang

 

 

 

 

Posted in fiksi, Uncategorized | Tagged , , | Leave a comment

Hewan Peliharaan Akna

 

 

Sudah sejak lama Akna ingin memelihara kura-kura. Iya, kura-kura Brazil kecil berwarna hijau seperti yang sering dilihatnya di buku dan film kartun Franklin. Setiap kali melewati pet shop (toko yang menjual hewan peliharaan) di mall atau tukang jual hewan yang sesekali ia temukan di tempat rekreasi, matanya tak bisa lepas dari mengamati hewan lucu bercangkang keras itu.

Setelah berkali-kali ia meminta kepada ibunya, dan ibunya hanya mengangguk-angguk saja tanpa membelikannya seekorpun, akhirnya Akna bertanya, “Sebenarnya bolehkah mas Akna memelihara kura-kura, Bu?”

Ibu malah balik bertanya, “Memangnya kamu serius?”

“Ya serius dong, Bu”

“Maksud ibu, apakah kamu mau mengurusi kura-kura itu? Bukan hanya untuk sekedar suka-suka saja. Kamu juga harus rajin memberinya makan, mengganti airnya, menjemurnya, bahkan menyikat cangkangnya jika mulai berlumut. Kamu siap?”

Akna berpikir keras. Wah repot juga ya? Tapi sesaat kemudian ia mengerling ke arah akuarium besar berisi kura-kura di pet shop itu. Aih lucunya si Franklin.

“Bagaimana, mas Akna?” Ibu menyentuh bahunya.

“Mau, Bu. Mas Akna serius kok. Janji deh!” Akna mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya dengan yakin.

Tak berapa lama, Akna sudah keluar dari pet shop itu menjinjing sebuah kandang berupa akuarium kecil berisi sepasang kura-kura Brazil. Betapa senangnya hati Akna. Tak sabar rasanya ia ingin segera sampai di rumah.

 

Beberapa hari kemudian, tampaklah kesibukan baru di rumah Akna. Setiap siang sepulang sekolah, Akna dan kedua sahabatnya, kakak beradik Vinda dan Vino, yang tinggal di rumah sebelah, asyik bermain balap Franklin. Kedua kura-kura kecil itu disuruh balap lari. Dasar kura-kura, mereka bukannya lari mengikuti lintasan, malah bersembunyi masuk ke balik keset kaki, atau bahkan menyelinap ke bebatuan.

“Ibuuu, kura-kuranya hilang. Mereka kabur!” lapor ketiga anak itu kepada ibu Akna yang baru pulang dari kantor pada suatu sore.

“Kabur? Kok bisa?” tanya Ibu heran.

Setelah mendengar cerita anak-anak, Ibu segera memerintahkan anak-anak mencari kura-kura yang malang itu sampai ketemu. Untunglah tak berapa lama, masing-masing kura-kura itu dapat ditemukan kembali. Yang satu ngumpet di bawah rak sepatu. Sementara yang satunya lagi ada di antara tanaman lili Paris di halaman.

 

Beberapa bulan berlalu. Kali ini Akna kembali ribut minta kura-kuranya ditambah. Konon menurut Akna, Vinda, dan Vino, kura-kuranya kesepian. Karena bosan mendengar permintaan yang itu-itu juga, akhirnya ibu membelikan sepasang lagi.

“Tidak ada kura-kura lagi setelah ini, ya?” kata ibu dengan agak jengkel.

“OK, Bu” Akna mengangguk senang dan buru-buru keluar dari pet shop sebelum ibu mengomel.

O ya, sejak kecil, Akna memang suka pada hewan. Tikus saja ia bilang lucu, sementara ibunya melihatnya saja sudah ketakutan. Tak heran Akna juga gemas dengan si kura-kura.

Tak berapa lama kemudian, Akna berulang tahun. Lucunya ia menerima beberapa hadiah berupa… hewan peliharaan. Ada tiga ekor ikan mas dengan akuarium kecilnya. Lalu ada sepasang kelinci, tiga ekor anak kucing, dan… sepasang kura-kura lagi!

Bukan main gembiranya Akna. Ia yang belum dikaruniai adik merasa senang bertambah temannya. Tinggallah ibu dan ayahnya yang geleng-geleng kepala. Hewan peliharaan sebanyak itu siapa yang mau mengurusnya?
Dan ternyata kekhawatiran ayah dan ibu terbukti. Lihatlah kesibukan di rumah Ahda setiap pagi. Ayah mengganti air di akuarium ikan dan kura-kura, lalu membuang kotoran kucing dan kelinci di bak pasir sebelum ke kantor. Ibu juga sibuk memberi makan hewan-hewan itu. Sementara Akna heboh sarapan sebelum pergi ke sekolah.

Dalam hati ibu mengeluh. Kalau begini, siapa sebenarnya yang harusnya mengurus hewan-hewan itu? (Sementara untuk memberikannya pada orang lain, ibu, ayah, dan terutama Akna juga sudah terlanjur sayang).

 

#30DEM

#30DaysEmakMendongeng

#day21

#hewanPeliharaan

 

 

 

 

Posted in fiksi, Uncategorized | Tagged , , | Leave a comment

Aya Buaya dan Anak Penyu

#ceritaanak

 

Aya buaya pelan-pelang bangun. Ia menggeser sedikit badannya yang panjang dan besar itu. Dilihatnya telur-telurnya sudah cukup banyak. Aya bersyukur sekali, tampaknya semua telurnya sehat dan akan segera menetas.

Jadi, sekarang waktunya menunggu mereka semua menetas.

Aya berdoa untuk keselamatan dan kesehatan semua anaknya, yang kalau lengkap, semua akan berjumlah enam ekor itu.

Ia tak memperhatikan bahwa ada sebutir telur yang tampak berbeda dari semua telurnya yang lain.

Aya berbaring sambil menguap. Mengerami telur adalah pekerjaan yang melelahkan. Sekarang ia mau bersantai dulu.

Crash. Crash. Kretuk. Krek!

Betapa takjubnya Aya melihat telur-telur itu retak dengan sendirinya. Dari dalamnya, muncul kepala-kepala kecil. Ya, Alhamdulillah, anak-anaknya sudah lahir. Perlahan-lahan, anak-anak itu keluar dari cangkang telurnya. Mereka melata dengan kaki-kaki yang masih lemah.

Aya segera mengumpulkan anak-anaknya dan menyusui mereka.

Anak-anak itu berebutan mendekat kepada ibunya untuk menyusu. Aduh, bahagianya menjadi seorang ibu, piker Aya senang.

Satu, dua, tiga,empat, lima.

Lima?

Bukankah tadi ada enam telur?

Kemana ya, telur yang satu lagi?

Aya mencari-cari sebutir telur yang hilang itu dengan matanya. Ya Allah, jangan sampai telur yang satu itu hilang, atau dicuri hewan lain, doa Aya dalam hati.

Tiba-tiba matanya melihat, telur yang satu itu baru akan menetas. Aya memicingkan matanya.

“Kok telur yang satu ini agak berbeda sih, daripada telur-telurku yang lain?” gumam Aya heran.

Sementara itu, telur meretak perlahan. Dari dalamnya keluar sebuah kepala.

Aya terpekik kaget, “Aaaaa, kok bukan seperti buaya?”

Ia tambah kaget lagi sewaktu telur itu sudah pecah sempurna.

Tampak di hadapannya, seekor anak… penyu!

Ya tak salah lagi. Ini adalah anak seekor penyu!

Hewan berwarna hijau dan mempunyai cangkang itu  tertatih mendekatinya. “Mama… mama… mama…” ia berseru-seru.

Anak-anak buaya yang sedang menyusu juga kaget melihat ada hewan lain yang memanggil ibu mereka dengan ‘mama’.

“Hay, penyu kecil, kenapa kamu ada di sini?” Tanya Aya kepada si penyu kecil.

“Mama… mama…. mama… mama…”

Waduh, dia mana mungkin tahu asal usulnya ya? Pikir Aya sedih. Ia menjadi kasihan kepada si kecil itu. Pasti mama Penyu juga sedih kehilangan anaknya.

Selesai menyusui anak-anaknya, Aya segera pergi sambil mengajak anak-anaknya. Juga si penyu kecil. Mereka semua dimasukkan ke dalam mulutnya yang lebar itu.

Jangan dikira, anak-anak itu akan dimakannya ya? Memang begitulah cara buaya menggendong anak-anaknya. Kamu juga pasti pernah melihat ibu kucing menggigit tengkuk anaknya kan? Nah itu cara ibu kucing menggendong anaknya.

Aya ingin mencari Mama Penyu dan mengembalikan anaknya.Mungkin saja telurnya terbawa tak sengaja ke tempatnya.

Anak penyu yang malang itu juga mulai menangis menyadari kalau dia berbeda dengan ‘mama’ dan anak-anak yang lain.

Setelah berkeliling, akhirnya Aya menemukan Mama Penyu sedang bersembunyi. Ia gembira sekali sewaktu anaknya akhirnya bisa kembali kepadanya. Ia sangat berterima kasih kepada Aya yang telah mengantarkan anaknya kembali.

“Tapi, Mama Penyu, mengapa telur ini bisa ada di tempatku ya?” Tanya Aya.

“Ya, aku sengaja menitipkannya diam-diam ke tempatmu. Saat itu, aku sedang diburu manusia untuk dibunuh. Mereka jahat sekali. Mereka memisahkan aku dengan telurku.”

“Untuk apa mereka membunuhmu?”

“Mereka mengambil dagingku untuk dimakan. Itu sebabnya jumlah kami sekarang tinggal sedikit,” jawab Mama Penyu.

Aya kasihan kepada Mama Penyu dan anaknya itu. Akhirnya ia menawarkan tempatnya untuk ditinggali bersama. Sekalilagi Mama Penyu sangat berterima kasih kepada Aya Buaya yang baik hati itu.

 

 

Fakta Sains :

Buaya memang sering menyembunyikan telur telur penyu di dalam mulutnya untuk membantu memindahkan ke tempat yang aman.

Jumlah penyu sekarang memang mengalami penyusutan akibat ulah manusia yang mengambil dagingnya untuk berbagai keperluan.

 

#30DEM

#30DaysEmakMendongeng

#Day20

#Fabel

#BermainSains

Posted in fiksi, Uncategorized | Tagged , , , | Leave a comment

Kisah Pippin si Tikus Pengintip

#ceritaanak

 

Di sebuah bukit yang hijau, setiap malam terdengar suara seekor hewan bernyanyi. Suaranya merdu namun menyedihkan. Siapapun yang mendengar pasti akan ikut merasa sedih. Begini lagunya;

 

Kalau kamu takut pada gelapnya malam,

Maka bagaimanakah aku ini?

Sepanjang hari aku ada dalam gelap

Hanya kudengar suara-suara tapi tak ada bentuk

 

Kasihan, bukan?

Kalian bisa menebak, hewan yang menyanyikannya pasti seekor hewan buta, yang tak dapat melihat terangnya siang.

Hewan yang bernyanyi sedih itu ternyata seekor tikus berbulu abu-abu, bernama Pippin. Dia tinggal sendirian di sebuah liang di kaki bukit itu.

Dulu, Pippin tidak buta. Ia malah memiliki sepasang mata yang bersinar-sinar terang.

Tetapi Pippin mempunyai hobi yang aneh. Ya, ia suka sekali mengintip gudang persediaan makanan milik tetangga-tetangganya. Setelah mengintip, Pippin akan menemui para tetangga itu dan meminta makanan simpanan mereka. Pippin memang malas mencari makanan sendiri.

Satu dua kali, tetangga-tetangganya memberinya sedikit makanan dengan senang hati. Tapi Pippin terus dan terus mengintip lalu meminta-minta. Lama-lama tetangga-tetangganya menjadi jengkel. Pippin jadi tambah malas mencari makanan. Hari-harinya hanya diisi dengan mengintip dan meminta.

“Bu Ceri Curut, sepertinya kamu punya sepotong keju besar yang lezat ya di gudangmu?” Tanya Pippin suatu hari kepada tetangganya, bu Ceri Curut.

Bu Ceri memandang Pippin dengan wajah tidak suka.

“Kamu pasti habis mengintip isi gudangku ya?” tebak bu Ceri.

Pippin tersenyum dan menjawab, “Iya, bu, kulihat gudangmu penuh sekali. Ada sepotong besar keju yang kelihatan lezat di sana.”

“Kenapa sih kamu senang sekali mengintip, Pin?”

“Karena aku tak biasa mencari makanan sendiri. Kan ada kalian, tetangga-tetanggaku, jadi aku hanya tinggal melihat isi gudang kalian dan memintanya. Kalian pasti akan memberinya, bukan?”

Bu Ceri cemberut. “Tidak. Kamu pemalas. Lagipula kan tidak sopan, mengintipi gudang hewan lain. Kamu juga kalau diperlakukan seperti itu, pasti tidak suka”.

“Aku kan tidak punya gudang. Aku tikus paling miskin sedunia. Makanya, bagilah keju itu denganku, bu Ceri,” pinta Pippin.

“Tidak! Aku tak ingin membaginya dengan tikus malas dan tidak sopan sepertimu. Pergilah!” usir bu Ceri dengan kesal.

Dasar Pippin nakal sekali. Karena sangat ingin makan keju, lagi-lagi ia mengintip isi gudang bu Ceri.

Asyik sekali dia mengintip. Dia mulai berpikir untuk mencurinya saja sekalian. Tengah asyik, Pippin tidak menyadari kalau ada kayu pintu gudang yang jatuh.

Bruk! Kayu itu jatuh tepat di depannya. Untunglah, Pippin tidak kena. Tapi, ada paku-paku yang terlempar dari kayu itu.

Plop! Paku-paku itu mengenai kedua mata Pippin. Pippin langsung menjerit kesakitan. Matanya berdarah. Bu Ceri yang kaget mendengar teriakan Pippin langsung membawanya ke dokter.

Paku-paku itu memang bisa dikeluarkan dari bola mata Pippin. Tapi matanya tak bisa tertolong lagi. Sejak saat itu, Pippin yang malang hanya mengenal satu warna: hitam yang gelap.

Pippin menyesal sekali. Sejak saat itu ia menjadi pemurung dan tak lagi suka mengintip.

 

 

#30DEM

#30DaysEmakMendongeng

#day19

#temabebas

#fabel

Posted in fiksi, Uncategorized | Tagged , , , | Leave a comment

Libi Lebah Ingin ke Bulan

#ceritaanak

 

Libi Lebah yang tubuhnya kecil mungil dan berwarna kuning-hitam ini punya cita-cita besar. Ya, dia ingin pergi ke bulan. Seperti manusia yang sejak empat puluh tahun yang lalu sudah menginjakkan kakinya di bulan, Libi ingin sekali menjadi lebah pertama yang menginjakkan kakinya di bulan.

Libi suka sekali memandangi bulan yang tengah bersinar di malam yang gelap. Apalagi kalau bulan sedang bulat penuh, atau yang biasa kita sebut dengan bulan purnama. Saat itu seluruh alam tampak terang benderang, bahkan puncak-puncak gunung dan pohon kelihatan berwarna keperakan, seperti warna sinar bulan.

Kalau bulan sedang berbentuk lengkung, yang kita sebut bulan sabit, Libi juga suka. Alam tampak agak gelap, tetapi tidak gelap gulita. Di balik pepohonan, sinar bulan mengintip malu-malu.

Addduuuh, pokoknya Libi cinta sekali sama bulan, Ia tidak peduli kalau bulan sebenarnya tidak memiliki cahaya sendiri. Cahaya atau sinar yang selama ini kita lihat, kan, asalnya dari matahari  yang dipantulkan oleh permukaan bulan.

Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Libi dari sekarang mempelajari sgala sesuatu tentang bulan. Ia mempunyai kliping tersendiri tentang bulan. Ia membuat gambar-gambar tentang astronot dan pesawat ruang angkasa. Tapi khusus buat lebah, lho.

Suatu malam Libi bermimpi. Dalam mimpinya ia bertemu dengan neil Armstrong, manusia pertama yang menginjakkan kakinya di bulan. Libi kagum sekali kepadanya. Berani ya, dia pergi ke bulan. Sementara di bulan kan tidak ada udara untuk bernafas, dan dia hanya dibekali tabung oksigen untuk keperluan bernafas.

Masih dalam mimpinya, ia diajak Neil Armstrong terbang ke bulan dengan pesawat ruang angkasa model baru yang super canggih. Di dalamnya banyak sekali alat-alat yang semuanya diatur dengan system computer. Aduuuh, Libi pusing sekali.

Ketika pesawat itu mulai  meninggalkan bumi, tiba-tiba Libi merasakan getaran yang hebat. Perutnya seperti dikocok-kocok. Oh, ia mual sekali. Apalagi ia ternyata lupa pipis. Aduuuh, Libi ingin pipis. Bagaimana kalau ia mengompol?

Getaran itu menghebat. Tetapi Neil Armstrong tampaknya biasa saja. Mungkin karena dia sudah pernah pergi ke luar bumi sebelumnya ya? Sementara Libi jungkir balik dan mengapung di dalam epsawat dengan perasaan tak karuan.

Sambil terus mengamati, Neil berkata bahwa getaran itu adalah akibat pergesekan antara badan pesawat dengan atmosfir (lapisan udarayang menyelubungi bumi kita). Libi dan neil mulai melayang, itu tandanya mereka sudah tidak lagi mengalami gaya tarik bumi (gravitasi).

Tapi sungguh deh, Libi mual dan ingin pipis!

“Di sini tidak ada toilet, Libi. Nggak apa-apa, nanti juga perasaan ingin pipismu akan hilang dengan sendirinya,” jelas neil dengan sabar.

Aduh, mana di luar gelap sekali, keluh Libi dalam hati sewaktu melongok dari kaca jendela pesawat. Bagaimana kalau nyasar?

Tentu saja tidak mungkin nyasar, karena semua sudah disiapkan sedemikian rapi. Libi hanya terlalu cemas dalam perjalanannya kali ini. Makulmlah ini adalah perjalanan pertamanya ke luar bumi.

Libi dan Neil akhirnya mendarat juga di bulan. Huaaaaa… kenapa aku tidak bisa menjejakkan kakiku di bulan? Keluh Libi dalam hati. Ia terus melayang-layang, dan berteriak-teriak panic, karena dirinya semakin menjauh dari permukaan bulan. Neil juga tampak panic menyadari  Libi tak mau kembali ke permukaan bulan.

Astaga, Libi menjauh dan makin jauh.

“Aaaaaaaaa….” Libi berteriak ngeri.

Masih sempat dilihatnya Neil panic mengejarnya, tapi tak sampai.

Libi melihat ke bawah… ia menutup matanya ngeri….

 

Bluk! Krekek!

Astaga! Libi terbangun. Badannya sakit semua. Ia melihat ke kiri dank e kanan.

Lho? Dimana dia sekarang?

Ternyata ia terjatuh dari sarangnya ke dahan pohon di bawahnya.

Libi merasa kepalanya pusing. Mimpinya tadi membuatnya lemas dan kaget. Itulah akibatnya jika banyak melamun dan lupa membaca doa sebelum tidur. Libi mengusap-usap punggungnya yang sakit sambil meringis.

Ia sadar, harusnya ia tidak hanya melamun. Untuk jadi astronot lebah, ia masih harus belajar sangat banyak dan sangat rajin. Libi yakin, kalau ia rajin belajar dan berdoa, pasti cita-citanya akan tercapai. Bukan hanya mimpi.

 

#30DEM

#30daysEmakMendongeng

#day18

#citacitaku

#fabel

Posted in fiksi, Uncategorized | Tagged , , , | Leave a comment

Beki Bebek Belajar Bernyanyi

#ceritaanak

 

 

Kalau ada lomba menyanyi antar hewan di hutan Cintadamai, maka pasti yang keluar sebagai pemenangnya adalah Nur si Burung Nuri. Suara Nur yang merdu itu sudah terkenal di seluruh pelosok hutan. Apalagi Nur juga pandai menyanyikan hamper semua jenis lagu dengan siulannya. Nur juga setia membangunkan para penghuni hutan di pagi hari dengan nyanyiannya yang merdu. Ia juga suka menyanyi diiringi oleh sekumpulan burung gereja.

Di hutan itu juga, tinggallah seekor bebek berwarna kuning bernama Beki. Ia tinggal di dekat danau, dimana Nur sering juga bermain ke situ.Beki dan Nur sudah lama bersahabat. Sstt… diam-diam Beki mengidolakan Nur lho. Karena itu, Beki ingin sekali bisa seperti idolanya itu. Beki ingin pandai menyanyi seperti Nur.

Kalau Nur bersuara sangat merdu, maka Beki adalah kebalikannya. Suaranya jauh sekali dari merdu. Cempreng dan berisik. Apalagi kalau Beki sedang mengomel. Waduuuh, seluruh penghuni hutan pasti akan protes karena merasa bising dan terganggu.

Sebenarnya, Beki juga senang benryanyi. Tapi setiap kali ia mulai bernyanyi,para penghuni hutan yang lain langsung menyuruhnya diam.

“Suaramu lebih buruk daripada Kimi Kucing kejepit kereta,” komentar Pipi Tapir.

“Yaa, sedikit lebih bagus lah daripada lolongan Dodog Anjing di tengah malam,” sambung Piggi Babi.

“Kalau aku mendengar suaramu, aku langsung pusing tujuh keliling,” kata Susi Sapi.

Mendengar hal itu, sedih hati Beki. Ia merasa minder, karena suaranya jauh dari sahabatnya sendiri.

Suatu hari, Beki menemui Nur. Ia minta diajarkan menyanyi oleh Nur. Tentu saja, sebagai sahabat, Nur senang sekali mengajari Beki. Sekarang mereka mulai berlatih.

“Doooo…” suara Nur, merdu sekali.

“Doooo-o-o-o… hek hek hek,” Beki menirukannya dengan suaranya yang cempreng. Aduuh, ternyata susah betul ya belajar benryanyi? Beki mengeluh dalam hati. Apalagi setelah terus berlatih, kok ya, suara Beki belum semerdu suara Nur? Masih tetap cempreng seperti biasanya.

Beki tetap berusaha semangat berlatih menyanyi. Hingga hamper habis suaranya, serak karena dipaksa bernyanyi. Hasilnya, suara Beki bukannya tambah merdu, tapi tambah hancur.

Akhirnya, Beki merasa bosan bernyanyi. Bahkan Nur pun tidak bisa lagi membujuknya. Beki jadi senang melamun di tepi danau. Gagal sudah cita-citanya ingin jadi penyanyi.

Sedihnya lagi, Pipi, Piggi, dan Susi kini makin sering meledeknya. Ditambah lagi dengan si Koko Kodok yang sama usilnya.

Hingga di suatu siang yang panas, keempat sekawan itu kembali meledeknya. Beki tidak menjawab dengan mengomel seperti biasanya. Ia hanya terdiam, karena suaranya sudah sangat serak. Hanya matanya saja yang menahan tangis.

Tiba-tiba, saking semangatnya meledeknya, Susi Sapi tercebur ke danau. Ketiga temannya hanya menjerit-jerit ketakutan. Bahkan Koko dan Pipi yang harusnya bisa berenang, malah buru-buru menyingkir. Apalagi Piggi yang takut air.

Sementara Beki langsung menceburkan dirinya ke danau untuk menolong Susi yang tak bisa berenang. Dengan susah payah, ditariknya badan Susi yang gemuk itu dengan paruhnya hingga ke tepi danau. Waduh, berat sekali badan Susi, keluh Beki dalam hati.

Alhamdulillah, Susi berhasil diselamatkan. Ketiga temannya langsung meminta maaf kepada Beki. Nur yang baru datang, berkata kepada Beki yang kelihatan capek,”Nah, Beki, semua hewan pasti punya kelebihan dan kekurangan. Kamu nggak perlu minder dengan suaramu itu. Kamu kan punya kelebihan, yaitu kamu pandai berenang dan… tulus menolong teman. Kelebihan yang tak dipunyai oleh setiap hewan.”

Beki dan semua hewan di situ mengangguk-angguk membenarkan perkataan Nur. Ya, mengapa pusing dengan kekurangan kita, sementara kita punya kelebihan yang lain? Allah memang Maha Adil ya.

 

 

#30DEM

#30DaysEmakMendongeng

#day17

#idolaku

#fabel

 

Posted in fiksi, Uncategorized | Tagged , , , | Leave a comment

Rubi Rubah dan Timbunan Makanannya

#ceritaanak

 

Musim dingin sebentar lagi datang. Para binatang bersiap-siap menghadapinya. Mereka beramai-ramai mencari dan mengumpulkan makanan. Selama musim dingin, seluruh hutan akan ditutupi salju yang cukup tebal. Sudah tentu, para binatang itu tidak akan dapat mencari makanan.

Tupi Tupai, Beri Beruang, Milo Monyet, dan Bevi Berang-berang mencari makanan beramai-ramai. Mereka suka menabung makanan. Tapi hebatnya, mereka tidak hanya mengumpulkan makanan untuk diri mereka sendiri. Mereka mendirikan ‘Pusat Bantuan Makanan’. Gunanya untuk menolong binatang-binatang yang kesulitan menemukan makanannya. Beramai-ramai mereka mendatangi tempat itu.

Tidak jauh dari tempat itu, Rubi Rubah buru-buru memasukkan timbunan makanan berupa daging dan kacang-kacangan ke dalam sarangnya. Ia kelihatan terburu-buru dan takut terlihat oleh binatang lain. Kenapa ya?

Oh, rupanya Rubi sudah lama dikenal sebagai binatang yang rakus dan pelit oleh teman-temannya. Ia tidak akan mau berbagi dengan binatang yang lain.

“Aku kan sudah susah-susah mencari makanan, masak harus bagi-bagi sih? Keenakan dong, mereka nanti malas mencari!” omelnya sewaktu ketahuan oleh Bevi Berang-berang. Bevi langsung meninggalkannya begitu Rubi meneruskan omelannya. Hih, dasar dia memang menyebalkan ya!

Satu hari menjelang musim dingin datang, Rubi bangun dengan terkejut. Ia kaget sekali mencium bau api dari gudang makanannya. Ia buru-buru menuju tempat itu.

Astagaaa! Ia berteriak kaget. Api sudah membakar gudangnya. Ia buru-buru memadamkan api itu sambil berteriak-teriak minta tolong. Teman-temannya segera berdatangan.

Tapi terlambat. Gudang itu sudah keburu hangus. Persediaan makanannya juga sudah jadi abu.

Rubi menangis sedih. Ia tidak punya persediaan makanan apapun lagi. Terbayang, ia akan mati kelaparan selama musim dingin yang panjang itu. Ia ingin meminta makanan dari teman-temannya, tapi ia malu. Selama ini dia kan pelit sama mereka.

Alhamdulillah, Beri Beruang berbaik hati. Ia menyumbangkan sebagian makanannya untuk Rubi. Teman-teman yang lain juga ikut menyumbang. Untunglah ia punya tabungan makanan.

Aduuuh, Rubi jadi malu dan menyesal sekali. Perbuatan jahatnya dibalas dengan perbuatan baik oleh teman-temannya. Ia berjanji tidak akan rakus dan pelit lagi…dan tentu saja rajin menabung makanan bukan hanya untuk dirinya sendiri.

 

#30DEM

#30DaysEmakMendongeng

#SukaMenabung

#day16

Posted in fiksi, Uncategorized | Tagged , , , | Leave a comment

Billa Berang-berang Menjaga Adik

Ibu Bevi Berang-berang baru beberapa hari yang lalu melahirkan anak keduanya. Namanya Bello. Bello adalah bayi berang-berang yang gendut dan lucu sekali. Dia suka sekali menyusu kepada ibunya.

Bello adalah anak kedua dari Bu Bevi dan pak Beno. Anak pertama mereka adalah seekor anak berang-berang perempuan yang cantik, bernama Billa. Billa senang sekali mempunya adik bayi. Ia suka membantu ibu menemani adik bayi tidur.

Setelah beberapa hari, Bello mulai belajar berjalan. Ia suka merayap dengan cepat dan mengejar-ngejar Billa. Belum lagi kesukaannya membuat mainan Billa berantakan. Pertama-tama, Billa membiarkan saja kelakuan adiknya. Tetapi lama-lama ia kesal juga. Adik bayi hanya bisa membuat semuanya berantakan, dan belum bisa membereskannya kembali. Jadinya, tugas Billa deh membereskan kembali semua yang berantakan itu. Kan capek juga, ya?

Suatu hari, ibu dan ayahnya hendak pergi menjual kayu yang sudah mereka kumpulkan ke kota. Billa mendapat tugas menjaga adiknya. Billa yakin ia bisa melakukan tugas itu dengan baik.

Awalnya, Bello mau menurut padanya. Mau bermain-main dan belajar membereskan setelahnya. Tetapi lama-lama Bello rewel. Mungkin ia mengantuk. Saatnya membuatkan susu, pikir Billa.Di luar awan membentuk gumpalan seperti pulau impian yang indah. Bergerak perlahan membuat Billa ingin ikut terbang bersamanya. Billa jadi ingin menangis. Oh, tapi ia masih harus membuatkan susu. “Tunggu aku, awan”, bisiknya.

Dengan cekatan, Billa membuat susu seperti yang ia ingat cara yang dilakukan ibu. Ia menuang susu bubuk dan baru air panasnya. Tapi… auwww! Aduuuduuuh… sakit sekali. Tangan Billa terpercik air panas. Billa mengusap-usap tangannya. Sementara itu, Bello menangis tak mau berhenti.

“Aduh, adik diam dong. Berisik sekali!” bentak Billa kepada adiknya. Bukannya diam, Bello terkejut dan menangis tambah keras.

Billa melotot kepada  Bello, sehingga Bello malah takut. Ia terus menangis membuat Billa makin kesal. Akibatnya, saat menuangkan air dari teko, airnya tumpah kemana-mana membasahi bajunya. Billa menjerit kesal, “Dasar bayi! Bisanya merepotkan saja!”

Sambil menangis, Bello akhirnya menyusu juga. Billa bernafas lega.

Selesai menyusu, Bello menangis lagi.

“Ada apa lagi, Adik?”Tanya Billa menahan kesal. Ia sedang asyik menonton film kartun di tivi soalnya.

Bello menangis keras. Ternyata setelah diperiksa, popoknya basah karena pipis. Bahkan alas tidurnyapun terkena juga.

Dengan kesal, Billa mengganti semua dengan yang bersih. Pakaian, popok, dan alas tidur yang kotor ia masukkan ke dalam keranjang pakaian bayi yang kotor.

Hmmm… Bello sudah mulai mengantuk. Mulut mungilnya menguap, lucu sekali. Billa menepuk-nepuk paha adiknya dengan sayang. Ia menyesal tadi marah-marah kepada adiknya itu. Sebenarnya ia sayang sekali kok, sama adiknya.

Tapi tak lama kemudian, Bello menangis lagi. Billa bingung sekali. Repot benar ya, mengurus bayi, sedikit sedikit menangis?

Ternyata Bello buang air besar!

Hiyyy… bauuu! Billa menutup hidungnya tak tahyan. Jijik ih… bagaimana ya cara menggantinya? Billa takut jijik.

Adududuh… Bello menangis makin keras. Billa tambah bingung.

Dengan panik, dia mengganti popok Bello bersama semua yang terkena kotorannya. Ia meletakkan semua yang kotor itu di sudut kamar mandinya. Ia tak tahu bagaimana membersihkannya.

Krek… krek… pinggang dan punggungnya berbunyi. Aduuuh, pegalnyaaa.

Billa berbaring di sisi Bello sambil berpikir, “Luar biasa sekali Ibu. Tugasnya begitu berat. Menjaga adik bayi bukan hal yang mudah. Padahal aku juga masih suka nakal. Malah aku sering tidak mau membantu menjaga adik…”

Di luar langit masih cerah. Ada deretan awan yang putiiih dan bergelembung seperti pipi adik bayi sehingga tampak makin indah. Billa teringat adiknya. Ah, Billa menyadari, hidupnya sekarang sebenarnya lebih indah, lebih berbahagia dengan adanya adiknya. Seharusnya ia bersyukur. Adiknya seperti gumpalan awan putih di dalam hidupnya.

Memikirkan itu, di samping Bello yang tertidur nyenyak, Billa jadi sadar. Ia seharusnya mulai belajar menjaga adik dan tidak dengan marah-marah. Ia dulu juga kan pernah jadi bayi, dan pasti sama merepotkannya dengan adik. Kasihan ibu ya? Dalam hatinya, Billa berjanji akan lebih sering membantu ibu menjaga adik. Tak lama kemudian, Billa tertidur kecapekan.

Sewaktu ibu dan ayah pulang, mereka terharu sekali karena Billa telah berusaha semampunya untuk menjaga adik. Billa mendapat hadiah sebatang coklat dari ayah dan ibu. Tak lama, ibu sudah kembali sibuk mencuci pakaian dan alas tidur Bello yang terkena pipis dan kotorannya.

Posted in fiksi, Uncategorized | Tagged , , , | Leave a comment

Neng dan Pasukan Kerajaan Air

Di sebuah daerah di Jakarta yang biasa berubah menjadi lautan ketika musim hujan tiba dan gundukan sampah di musim yang lainnya, ada seorang anak perempuan yang senang berkhayal. Setiap bangun pagi, ia berkhayal. Di sekolah, ia berkhayal. Kadang sambil makan, ia juga berkhayal. Bahkan mau tidurpun, ia menyempatkan diri berkhayal sejenak sebelum membaca doa tidur.

 

Macam-macam yang ia khayalkan. Paling sering tentang binatang. Ia misalnya pernah berkhayal tentang memiliki adik seekor kucing belang tiga. Lain waktu ia membayangkan menjadi peternak yang memiliki banyak sekali ayam dan bebek, hingga rumahnya penuh dengan kedua jenis unggas itu.

 

Namun yang paling ia sukai adalah hujan. Entah mengapa. Ia hanya suka hujan, sebab hujan membuat khayalannya menderas. Semakin deras hujan, maka semakin deras pula khayalannya.

 

Padahal biasanya ayah dan ibunya pasti punya kesibukan tambahan ketika hujan menderas. Ibunya, utamanya, sebab ayahnya lebih sering berdinas ke luar kota. Kesibukan yang justru membuat anak perempuan itu makin tenggelam dalam khayalannya yang seakan tak bertepi.

 

“Wah, hujan makin deras lagi” seru ibu sambil wara-wiri mengangkati jemuran dan menyiapkan ember, panci, baskom. Bocor akan segera meramaikan rumah mereka.

 

Dengarlah irama tetes air hujan itu. Juga yang beradu dengan dasar ember, panci, dan baskom. Tik tuk tik tuk. Seperti suara langkah kaki prajurit kerajaan dan genderangnya. Merdunyaaa… anak perempuan kecil iu tersenyum senang sambil mendekap Tini, bonekanya yang berkuncir dua.

 

Malam datang beriring hujan yang tak berhenti. Malah makin menderas seakan merobek langit, hujan melengkapkan kehadirannya. Lihatlah, air mulai memasuki rumah mereka. Selokan depan yang penuh sampah dan berwarna coklat pekat sudah meluap sejak magrib tadi. Ibu sibuk mengangkati perabot dan alat-alat rumah tangga ke atas meja dan kasur.

 

“Ayo, Neng, cepat naik ke atas tempat tidur. Ini banjir makin tinggi!” Seru Ibu panik. Digendongnya kedua anaknya yang masih kecil. Sementara itu si Neng, gadis pengkhayal itu, yang baru duduk di kelas satu SD tertawa senang. Ia menertawakan sandal jepit ibu yang baru kemarin dibeli di warung Mpok Sani, mengapung dan bergerak mengikuti arus air.

 

“Haha, sandal Ibu jadi perahuu…” Ia bertepuk tangan girang. Ibu menarik tangannya dan memaksanya naik ke atas tempat tidur.

 

“Ayo naik, cepat. Nanti kamu bisa hanyut kayak sandal ibu”, kata ibunya cemas.

“Moga-moga nanti ada pasukan kerajaan yang mengembalikan sandal ibu” jawab Neng sambil matanya tak lepas mengawasi sandal yang kini sudah keluar pintu dapur. Menuju kebun belakang, pasti.

“Ah, sudahlah. Lagi banjir kok sempat-sempatnya ingat dongeng Cinderella”, tukas ibu. “Lihat bajumu sudah basah. Ayo ganti sendiri ya? Itu ambil yang di kasur. Cepat nanti masuk angin” instruksinya lagi, panjang lebar.

 

Tapi Neng tetap asyik dengan khayalannya. Kerajaan air sudah kembali berdiri sekarang. Lihat, ada rak bumbu ibu yang terapung. Seperti istana kerajaan air. Ada mangkok plastik bekas ia makan siang tadi, kini menjelma kapal pesiar berbentuk bulat. Oopsss,… ada botol susu adik juga ikut berlayar. Waah mungkin nanti akan ada sepasukan tentara kerajaan air yang akan menolong menyelamatkan benda-benda itu dan mengembalikannya ke tempat semula.

 

Ibu sibuk menyelamatkan apapun yang bisa diselamatkan. Banjir sudah setinggi pinggang kini. Adik-adik Neng mulai kelaparan dan kehausan. Neng sendiri mulai merasa bosan. Ia mulai lelah dan ingin tidur. Pasukan kerajaan air belum datang juga. Neng sudah bosan berkhayal. Sedikitnya, ia mulai merasa cemas. Ia merasa bertanggung jawab menyelamatkan adik-adiknya.

 

“Kalau hujan tak juga berhenti, mungkin kita harus mengungsi ke teras masjid yang agak tinggi”, gumam ibu pada dirinya sendiri. Ayah sedang dinas ke Surabaya. Anak-anaknya, termasuk Neng, masih terlalu kecil untuk diajak bicara tentang banjir dan mengungsi.

 

Dan Neng benar-benar kecewa pada pasukan kerajaan air. Dengan marah dilemparkannya Tini, bonekanya satu-satunya, ke air.

 

Pergilah. Kamu harus menyusul pasukan itu segera. Suruh mereka menyelamatkan kami ya. Cepatlah. Ujarnya dalam hati.

 

Tini seakan menatapnya sedih dan tak rela. Neng menggeleng lesu. Sekarang ia kedinginan, kelelahan, mengantuk, haus dan lapar. Dan ia sungguh tak tahu sampai kapan ini akan berlangsung. Ibu sibuk menenangkan adik-adiknya rewel. Dan ia tak punya pilihan sama sekali. Kerajaan air tak juga menolongnya.

 

Ia kini tak peduli pada Tini. Ia seperti mendengar tangisan Tini yang sekarang hanyut bersama air bah ke tempat yang sama dengan sandal ibu. Entah Tini bisa balik atau tidak.

 

Neng bahkan tak peduli ibunya mengomel sebab ia melemparkan Tini ke air kotor. Neng ingin menjerit keras sekali. Namun ia tak cukup punya keberanian untuk itu. Dan tidak cukup tenaga, tentu.

 

 

Ia membalikkan tubuhnya menghadap dinding yang dilapisi plastik tebal untuk menahan lembab, saking seringnya kena bocor, tampias, dan banjir.

 

Matanya seketika membola. Akhirnya… pasukan kerajaan air datang juga. Itu lihat mereka datang berbaris-baris di balik plastik. Ada cacing, kecoak, kalajengking, lipan, dan entah apa lagi….

 

Oh, ayo keluarlah, Pasukanku… tolong selamatkan kami, serunya dalam hati. Jari jemari kecilnya mencoba mencongkeli plastik.

 

“Neng, astagaaaa, apa yang kamu lakukan?” Ibunya berteriak ngeri.

Tapi Neng tak peduli. Ia harus mencoba menolong pasukan kerajaan air agar mereka juga mau menolongnya.

 

Seekor kalajengking menatapnya. Neng tersenyum lebar… inilah harapannya…

 

“Neeeenggg, ya Allah, bocaaaah!” teriak ibu keras sekali disambung dengan berbagai seruan dalam bahasa Betawi yang tak sempat Neng dengarkan. Sebab ia merasa dunia di matanya kini hanya hitam dan perih…sakit sekali….

 

 

 

Posted in fiksi, Uncategorized | Tagged , , , | Leave a comment