#ceritaanak
Seperti biasa, Beby pulang sekolah sendirian. Ia tidak bergerombol bersama teman-teman lainnya. Beby memang bisa dibilang tidak punya teman akrab.
Mengapa?
Mungkin karena Beby terlalu pendiam dan pemalu. Beby jarang bicara kalau tidak ditanya. Tak heran, temannya mungkin hanya Ela, teman sebangkunya.
Jika Ela tidak masuk karena sakit seperti ini, Beby sendirian saja. Di kelas sendirian. Istirahat sendirian. Jalan ke mushala untuk shalat zuhur berjamaah juga sendiri. Pulang pun sendiri.
Mengapa Beby pemalu dan pendiam?
Mungkin karena Beby merasa dirinya bukan anak orang kaya. Berbeda dengan kebanyakan teman-teman sekolahnya, Papa Beby bekerja sebagai supir bajaj. Sementara papa teman-temannya kebanyakan bekerja sebagai pegawai di kantor.
Beby tak pernah diantar jemput naik motor atau mobil. Ia jalan kaki sendiri. Beby tak punya tas yang cukup bagus. Ia hanya punya tas bergambar kucing, bekas Sasa, kakaknya.
Beby juga tak secantik Intan dan Seila. Beby tak selincah Nena dan Rara. Beby terlalu sederhana dan seadanya. Itu juga menyebabkan Beby menjadi pemalu.
Sedang asik-asiknya berjalan, tiba-tiba sebuah mobil membunyikan klakson di belakang Beby. Tentu saja Beby terkejut dan menoleh ke belakang.
“Ayo, Beb, pulang bareng yuk. Rumahku kan searah dengan rumahmu. Ayo naiklah”, ajak Intan dari dalam mobil.
Beby kembali terkejut. Benarkah? Intan mengajaknya pulang bareng?Ragu-ragu Beby naik ke mobil Intan yang bagus dan mengilat itu. Bukankah selama ini Intan tak pernah menegurnya? Apalagi mengajaknya pulang bareng. Wah, apakah ia bermimpi?
Sepanjang perjalanan, Intan dengan ramah mengajaknya ngobrol. Beby hanya sesekali menjawab sambil malu-malu. Dalam hati, Beby mengomeli dirinya sendiri, kenapa sih penyakit malu ini nggak sembuh-sembuh juga?
Intan mengantar Beby hingga di mulut gang. Sebelum turun Intan bertanya, “Beby, kamu mau berteman denganku?”
Aduh, tentu saja. Beby gembira sekali. Selama ini kan Beby sebenarnya ingin sekali punya teman dekat. Bukan hanya dengan Ela saja.
“Te… tentu saja, In. Aku… aku senang sekali…” jawab Beby terbata-bata.
“Terima kasih ya, Beb”, Intan melambaikan tangan dari jendela mobil.
Hari ini Beby bahagia sekali. Akhirnya ia bisa menambah teman! Intan? Siapa yang tak kenal Intan di sekolah?
Intan cantik jelita, kaya raya, dan suka mentraktir teman-temannya jajan.
Tapi Beby berteman dengan Intan bukan karena itu. Ia hanya ingin berteman dengan siapa saja. Itu saja.
Kini Beby dan Intan terlihat seperti dua orang sahabat. Kemana-mana bareng. Makan di kantin, mengerjakan PR, bahkan sekarang Beby ikut ekskul Pramuka dan Menyanyi bersama Intan.
Perlahan Beby mulai menambah teman. Keceriaan dan keramahan Intan menular kepadanya. Beby mulai bisa tersenyum dan tertawa saat ada teman yang melucu. Beby mulai melupakan rasa malunya. Toh, tidak ada seorangpun temannya yang meledek Papanya yang supir bajaj itu.
Beby kini merasa hidupnya lengkap. Ia menyadari bahwa ia sebenarnya pintar. Beby kan selama ini selalu juara kelas. Namun ia penyendiri, jadi tak ada yang berani dekat-dekat dengannya.
Namun kembali Beby mendapat masalah. Intan ternyata suka menyontek PR dan ulangannya. Intan malas belajar dan mengerjakan PR.
Akibatnya, Beby yang menjadi korban. Intan selalu membujuknya memberi contekan. Kadang jika tidak diberi contekan, Intan ngambek dan mendiamkannya sepanjang hari. Ela yang sudah kembali masuk, sudah mengingatkan Beby untuk hati-hati pada Intan.
Puncaknya waktu ulangan matematika. Intan marah karena Beby tidak mau memberi contekan. Saat istirahat, Intan mendatangi meja Beby dan mengata-ngatai Beby.
“Dasar anak tukang bajaj. Sok pintar. Pelit lagi! Yeee… dasar sok. Anak tukang bajaj nggak ada temannya… Yeee!” begitu Intan mengata-ngatai Beby. Di sampingnya ada Seila, Nena, dan Lusi, sahabat-sahabat Intan yang juga ikut memandanginya dengan menghina.
“Selama ini juga aku berteman denganmu kan karena aku tahu kamu pintar. Tapi kalau kamu sok begini, aku malas. Apalagi kamu cuma anak tukang bajaj!” sambung Intan.
Beby sedih sekali. Saking sedihnya, ia tidak bisa berkata apa-apa. Perlahan air matanya mulai turun.
Ela, Iggi, dan Risma, sahabat-sahabat barunya, datang dari kantin dan melihat Beby menangis. Mereka tidak terima Beby dihina begitu. Ela dan Risma segera mendekati Beby. Sementara Iggi yang paling berani, memarahi Intan dan teman-temannya.
“Sudahlah, Beb. Untuk apa memaksakan tetap berteman dengan anak yang jelek sikapnya begitu?” hibur Ela.
“Iya, Beb. Kan ada kita-kita? Sahabat sejati kan nggak memandang kaya atau cantik atau pintar kan?” sambung Iggi.
Risma menepuk-nepuk pundak Beby yang masih menangis.
Alhamdulillah. Subhanallah. Engkau masih memberikan aku sahabat sejati. Aku tadinya menyangka sahabatku adalah Intan. Ternyata dia hanya teman yang tidak tulus. Beby sangat bersyukur memiliki sahabat-sahabat sebaik Ela, Iggi dan Risma.
Sahabat sejati tidak hanya ada ketika dia butuh kita. Dia ada dalam susah dan senang. Dia mau menerima kita apa adanya. Sekarang Beby, Ela, Iggi, dan Risma sering bermain bersama. Mereka tertawa-tawa bahagia dan duniapun ikut tertawa karena ketulusan persahabatan mereka.
#30DEM
#30DaysEmakMendongeng
#day23
#Hatiyanglemahlembut