Putri Bungsu dan Gunung Ruai (Dongeng Kalimantan Barat)

#ceritaanak

Pagi belum lagi lama menyelimuti alam raya, tatkala sudah terdengar suara isak tertahan dari mulut seorang gadis cantik yang tengah duduk di tepi belakang rumah panggungnya yang cukup megah. Wajah gadis itu kemerahan dan ada beberapa memar di keningnya yang semula agaknya licin dan mulus. Sesekali diusapnya memar-memar itu dengan semacam ramuan yang terbuat dari akar dan dedaunan hutan yang banyak tumbuh di hutan yang terletak di sekitar rumah yang cukup besar itu.

“Sampai kapan nasibku harus seperti ini?: rintihnya dalam lirih, seolah ia ingin mencurahkan kesedihannya kepada seseorang. Tapi tak seorangpun terlihat di sana. Putri cantik itu hanya berteman sepi. Hanya cericit ramai suara burung-burung yang bersahutan dengan hewan lain penghuni hutan yang terdengar. Mereka seakan berusaha menghibur hari si cantik itu. Namun tetap saja air mata turun membasahi pipinya.

“Sejak Ibu pergi, nasibku jadi makin menyedihkan begini. Apa salahku sehingga kakak-kakakku seakan makin membenciku? Padahal semua keinginan mereka sudah berusaha kupenuhi. Tapi adaa…saja salahku. Aku benar saja tetap dianggap salah, apalah lagi jika aku memang benar berbuat salah…” keluhnya sambil terus memborehkan ramuan di atas memar-memarnya.

Hari terus beranjak siang, beberapa orang lewat dan mengangguk atau tersenyum hormat kepada si Cantik yang ternyata seorang putri raja itu. Si Cantik berlesung pipit itu adalah putri Bungsu yang merupakan anak ketujuh dari Raja yang berkuasa di daerah pedalaman Benua Bantanam/ sekarang letaknya di sebelah timur kota Sakura, ibukota Kecamatan Teluk Keramat, kabupaten Sambas. Letak kerajaan itu tidak jauh dari Gunung Bawang yang berdampingan dengan Gunung Ruai. Di dekat gunung itu terdapat sebuah gua yang banyak sekali ikannya yang disebut orang Gua Batu. Konon di dalam gua itu tinggal seorang kakek yang terkenal kesaktiannya. Entahlah, paling tidak begitu yang dikatakan masyarakat Dayak yang tinggal di daerah itu. Puteri Bungsu yang juga berasal dari suku Dayak itupun belum sempat bertemu dengan kakek tersebut.

Bagaimana bisa sempat? Puteri Bungsu sangatlah sibuk setiap harinya. Ia harus melayani semua keperluan keenam kakak perempuannya, yang juga sama cantiknya dengan dirinya. Bedanya, keenam kakaknya ini sangat pemalas dan pesolek. Kerjanya hanya berdandan dan bermain saja. Semuaaaa harus dikerjakan oleh Puteri Bungsu. Dari mulai masak, mencuci, hingga mendandani keenam kakak. Belum lagi, ia punya tugas tambahan yaitu mencarikan pemuda-pemuda tampan untuk teman bicara dan bercanda keenam kakak. Meski menyebalkan, Puteri Bungsu terpaksa harus melaksanakan serentetan tugas itu, kalau tidak mau dihukum dan dihajar habis-habisan oleh kakak-kakaknya.

Dan begitulah yang kembali ia alami pagi ini.

Sejak semalam, ia sedikit demam. Badannya tidak enak, kepalanya pusing, dan perutnya mual. Tak ada makanan yang bisa masuk ke dalam perutnya. Puteri Bungsu merasa sangat lemas. Tapi kakak-kakaknya ribut karena ia belum juga memasak untuk mereka. Mereka sudah lapar, katanya. Padahal mereka bisa saja kan, menyuruh para dayang atau pelayan istana. Toh, ayah mereka adalah raja, dan mereka sendiri merupakan puteri-puteri raja. Tapi begitulah mereka. Dengan manja, mereka berkeras tidak mau dilayani siapapun kecuali oleh si Bungsu.

Karena menolak, si Bungsu kena cubit di kening dan pipinya oleh kakak-kakak yang terkenal judes dan kejam itu. Tentu saja ia menangis kesakitan, dan penyakit demamnya menjadi bertambah parah. Tapi keenam kakaknya tak peduli,. Dipaksanya si Bungsu bangun dari tempat tidurnya dan didorongnya keluar dari rumah.

Di sinilah si Bungsu sekarang, menangis tersedu-sedu sambil meratapi nasib dan sakitnya. Tak ada seorang dayang atau pelayanpun yang berani mendekatinya. Bisa-bisa mereka dipecat oleh puteri-puteri yang galak itu. Mau makan apa keluarga mereka nanti jika mereka tak punya pekerjaan lagi? Padahal, pekerjaan sebagai petugas istana adalah pekerjaan bergengsi yang tak semua orang bisa mendapatkannya.

Apalah lagi para rakyat jelata.

Mereka bukan tak tahu penderitaan yang dialami si Bungsu yang malang itu. Setiap hari mereka merasa teriris hari melihat si Bungsu menangis sambil mencuci di sungai, atau sedang menjemur pakaian di belakang istana raja. Sesekali jika tak ada yang mengawasi, mereka berusaha membantu pekerjaan Puteri Bungsu, yang meskipun sambil menangis, tetap memaksakan tersenyum dan menyapa kepada setiap rakyat yang ditemuinya. Kadang pula mereka member atau mengirimkan obat untuk menyembuhkan luka-luka sang Puteri, bisa secara langsung atau melalui para pekerja di istana yang bisa menyelundupkannya kepada sang Puteri.

Seperti obat yang dipakai Puteri Bungsu pagi ini merupakan kiriman dari seorang nenek tua yang merasa sayang kepadanya. Seringkali diam-diam, nenek itu datang menemui sang Puteri untuk memijat kaki dan badan sang Puteri yang pegal-pegal karena terlalu capek bekerja.

Sebenarnya, Puteri Bungsu merupakan anak kesayangan dari Ayah dan Ibunya. Apalagi dulu, sewaktu Ibunya, Sang Ratu, masih hidup. Puteri Bungsu sama cantiknya dengan keenam kakaknya, tetapi ia memiliki akhlak dan budi pekerti yang paling baik dibandingkan dengan keenam kakaknya. Ia paling rajin bekerja, dekat dengan rakyat jelata, dan senang membantu Raja dan Ratu melaksanakan tugas memimpin Negara. Hal ini tentu saja membuat keenam kakaknya menjadi iri, mereka menilai ayah dan ibu mereka tidak adil dan pilih kasih.

Sejak ibunya meninggal karena sakit, nasib Puteri Bungsu semakin menyedihkan. Yang tadinya kakak-kakaknya hanya bisa bersikap judes padanya, kini mereka makin berani memperbudaknya untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga dan tugas-tugas kenegaraan yang diberikan oleh ayahnya untuk mereka.

Jika ayahnya sedang ada di istana, kakak-kakaknya memang kelihatan sayang dan sangat melindunginya. Tapi jika ayahnya sedang bertugas keluar, mereka bebas memperlakukan Puteri Bungsu semena-mena.

Sementara si Bungsu menahan sakit di luar istana, di dalam, kakak-kakaknya tengah asyik makan masakan hasil karya si bungsu.

“Ih, kok ikannya asin sekali ya? Kamu rasekan ndak?” Tanya si kakak nomor dua kepada yang lain, yang tengah mengelilingi meja makan.

“Iye, aku rase gitu. Kurang ajar ndak ni si Bungsu, mau die kite keracunan garam pulak?” timpal kakak nomor enam.

“Macam mane die ni? Kemane die bah?” Si Sulung bangkit sambil berkacak pinggang dengan gemas.

“Beraninye ndak ade ayah. Ade ayah, manis pulak lakunye”, sambar si nomor tiga.

“Ehh, Dayang, becarik-lah kau sana, cari si Bungsu, bawe ke mari die, cepat sikit ye…” perintah si nomor lima.

Para Dayang yang tengah menunggui mereka makan, buru-buru melipir ketakutan sambil tertunduk-tunduk. Dalam benak mereka terbayang entah siksaan apa lagi yang akan dialami si Bungsu. Sejenak mereka saling bertatapan enggan. Namun bentakan dari para Puteri yang galak itu memaksa mereka segera melaksanakan perintah.

Di belakang istana, mereka menemukan si Bungsu tengah memotong-motong daun pisang yang akan digunakan sebagai alas masakan untuk makan siang. Sambil berbisik-bisik mereka meminta si Bungsu tidak muncul dulu sebelum ayah mereka pulang bertugas siang nanti. Jika si Bungsu muncul sekarang, bisa habis dia dihukum kakak-kakaknya yang kejam itu.

 

Matahari tepat sepenggalah ketika ayah mereka, sang Raja, beserta para pengawalnya, pulang bertugas. Tentulah mereka sangat lelah dan lapar. Dengan lahap mereka memakan masakan hasil karya si bungsu. Kakak-kakaknya dengan wajah ceria berusaha mencandai ayah dan si Bungsu. Si Bungsu lebih banyak menunduk untuk menyembunyikan biru-biru memar di wajahnya.

“Eh Bungsu, ngape wajah kau tu? Biru-biru layaknye habis dicubiti orang?: Tanya sang Ayah yang heran melihat wajah sang puteri bungsu.

Keenam kakaknya kaget mendengar ayah memerhatikan wajah sang adik. Mereka saling sikut untuk mulai bicara. Jangan sampai ayah tahu bahwa mereka yang telah menganiaya si Bungsu.

“I-ini, Ayah, aku…. Aku….” Si Bungsu menelan ludah sambil sembunyi-sembunyi melirik kakak-kakaknya.

“… itu Ayaah, si Adek Bungsu kite niii….suke sangat papaya di kebun kerajaan sebelah. Tempo hari die ade dikasih papaya same puteri sebelah. Eh kemarin die pingin lagi. Sudah kami bilang, ndak usah. Nanti jak tunggu ayah pulang, Eh die nekadlah tuh pegi sendiri….”

Si Bungsu tetntu saja kaget mendengar omongan si Sulung.

“Ha terus? Jatuh kah kau Bungsu, atau kenape?” Tanya Ayah tak sabar.

“Bukan jatuh Yah. Mane gak anak dare sebesak die jatuh pulak? Die curi lah tuh papaya….” Lanjut si kakak nomor dua.

“HAAA? Astagee, Bungsu, ape kate orang pulak, anak Raje mencuri papaya?” seru ayahnya, setengah tak percaya.

“Bu…bukan, Ayah…” si Bungsu berusaha bicara. Tapi kakinya diinjak si kakak nomor enam. Ia meringis kesakitan. Aduhai, bagaimana ini?

“Iye lah Yah, marahlah pengawal kerajaan sebelah. Abislah die nih dipukulnye. Untunglah kami datang. Kami lelah becarik die ni. Eh, ndak taunye maling papaya di kerajaan tetangge…” bual si nomor lima.

Ayahnya menatap anak-anaknya satu persatu. Memandang mata ayah yang tegas dan berwibawa, mereka semua menunduk segan. Tentu saja kakak-kakak takut kebohongan mereka terbongkar.

Terakhir ayah menatap si Bungsu lama. Si Bungsu membalasnya dengan sedih. Ada tangis yang gagal turun dan ada kata-kata yang tak terucap di mulutnya. Ia hanya berharap ayah mengerti bahwa sungguh ia tidak melakukan apa yang dituduhkan dengan keji oleh kakak-kakaknya itu.

“Maafkan Bungsu, Ayah…” hanya itu yang sanggup ia ucapkan.

“Hukum jak die, Yah….” Ujar si nomor enam.

“Eh, diamlah kau!” Balas sang Ayah tegas. Si nomor enam langsung cemberut dan melotot pada si Bungsu.

“Baiklah, Bungsu. Kali ini kau tak ayah hukum. Ayah tahu ade yang ndak tepat di sini, tapi nantilah kite lihat. Kau pegi tiduklah, istirahat siang sana. Tampaknya kau lelah sangat”, suara ayah melunak tapi masih terkesan tegas.

“Jika ini benar, ndak boleh kau ulangi ye?”

“Baik, Ayah”. Si Bungsu menelan ludah sedih. Ayah sepertinya kesal padanya. Tapi mau bagaimana lagi, kakak-kakaknya terlalu pandai bicara, sementara ia tidak diberi sedikitpun kesempatan.

Dengan lesu, si Bungsu bangkit meninggalkan makannya yang belum selesai. Badannya menjadi dua kali lebih sakit, ditambah dengan semakin perih hatinya.

‘Ibu, aku rindu padamu….’, tangisnya dalam hati.

“Aaah, kalian berenam, abis ni kalian pulak yang bereskan meje ni dan cuci piring ye”, perintah Ayah kemudian.

“Ayah ni, ngape ndak suruh pelayan lah?” sergah si nomor tiga.

“Eh, sekali-kali kaulah yang kerje… biase ayah lihat si Bungsu jak yang kerje…” balas ayah keras.

Serempak keenam anak gadisnya cemberut dan mengomel dalam hari. Ah gara-gara si Bungsu lagi….

 

Pada suatu hari, sang Raja memanggil seluruh keluarga dan rakyatnya untuk mendengarkan sebuah pengumuman penting. Ketujuh puterinya tentu saja ikut hadir pula. Ternyata sang Raja akan mengadakan kunjungan ke luar negeri selama sebulan penuh. Belum pernah Raja pergi sejauh dan selama itu.

Yang sangat mengejutkan adalah, selama Raja pergi, semua urusan kenegaraan dan pemerintahan akan dipegang oleh Puteri Bungsu untuk sementara waktu. Hal ini tentu saja sangat mengecewakan bagi keenam kakaknya yang berharap mereka yang mendapat wewenang itu.

Secepat kilat timbul ide jahat di benak mereka, yang segera mereka rundingkan di kamar si sulung pada malam harinya, ketika ayah sudah pergi dan si bungsu sudah tidur.

“Sepakat ye, ide kite ni harus terlaksana… Jangan ade yang bocor!” kata si Sulung selaku pimpinan rapat gelap.

“Siap, Kakak. Ide ini harus benar-benar matang supaya hasilnye juge bagoos…” seru si nomor dua.

“Sudah ke rapatnye? Aku ngantuk sangat ni. Besok jak ye kite lanjotkan….” Ujar si nomor enam yang bertubuh paling gemuk. Dia memang pengantuk.

“Ah, kau. Ye sudahlah. Ingat, jangan ade yang membocorkan ini ke si Bungsu ye?” tegas si Sulung sekali lagi.

“Siappp, Kakaaak!” seru adik-adiknya serempak.

“Eh, kau ni gaduh pulak!” si Sulung melotot sadis pada adik-adiknya yang cekikikan geli.

 

Seminggu sudah berlalu semenjak kepergian ayah mereka. Selama itu keadaan sangat tenang dan damai. Si Bungsu mengira, kakak-kakaknya sudah sadar untuk tidak lagi berbuat jahat padanya.

Suatu hari yang cerah, kakak-kakak mengajak si Bungsu bertamasya ke Gua Batu sambil menangguk (menangkap ikan dengan Tangguk, semacam ember besar dari kayu dan dedaunan). Si Bungsu tentu saja senang, apalagi ia memang cukup lelah menangani masalah kenegaraan yang tak kunjung habis.

Mereka bertujuh berangkat tanpa pengawalan. Dengan riang, mereka bercanda sambil bernyanyi-nyanyi sepanjang jalan. Belum pernah mereka serukun dan sebahagia ini tampaknya. Apalagi si Bungsu yang merasa rasa sayangnya kepada kakak-kakaknya semakin bertambah.

Setibanya di lokasi, mereka sangat senang menangguk ikan. Si Bungsu dapat menangguk banyak sekali ikan.

“Kaaak, lihatlah, aku dapat banyak ikaaan”, serunya riang.

“Iyeee, besak-besak pula ikan kau, Su”, balas kakak-kakaknya.

“Mau ndak kite lebih ke dalam sikit? Ikannye lebih banyak dan lebih besak-besak”, ajak si nomor dua.

“Haaa, gendot-gendot macam die niii”, tunjuk si nomor tiga pada si nomor enanm yang dibalas toyoran kepala oleh si nomor enam. Yang lain tertawa semua.

“Ayoklah. Nanti kumasakkan ikan masak kuning buat kite semua”, sambut si Bungsu.

Beriringan mereka menuju bagian dalam gua. Suasana agak gelap, makin lama makin sedikit cahaya matahari yang masuk lewat celah-celah gua. Keenam kakak sengaja pura-pura berpencar mencari ikan. Si Bungsupun tampak asyik dengan tangguknya, dan tak memerhatikan bahwa keenam kakaknya telah berhasil keluar satu persatu dari gua.

Di dalam gua yang semakin gelap, si Bungsu menyadari ia tersesat jauh. Ia segera berteriak memanggil kakak-kakaknya. Sekian lama tidak juga terdengar jawaban. Si Bungsu tertegun menyadari ada yang salah di sini.

Ia telah ditipu kakak-kakaknya. Ia telah dibuang kakak-kakaknya.

Sungguh ia mengira kakak-kakaknya telah berubah menjadi begitu baik padanya. Ternyata, semua itu hanya tipuan belaka untuk menyingkirkannya.

Menyadari hal itu, Puteri Bungsu duduk dengan lemas di sebuah batu besar di tepi aliran sungai di dalam gua itu. Ia menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya. Sungguh ia tak mengerti jalan pulang. Tambahan lagi, hari sudah beranjak senja, matahari sudah mulai beranjak pulang. Hari semakin gelap.

Ia terus menangis dan berdoa agar ditunjukkan jalan keluar dari gua itu. Ketika lapar, ia memakan ikan yang banyak terdapat di situ dan minum air dari sungai.

Tanpa terasa sudah tujuh hari tujuh malam berlalu.

Hampir putus harapan Puteri Bungsu untuk bisa keluar dari gua itu, Yang ia pikirkan hanyalah ayahnya dan rakyatnya. Bagaimana mereka nanti?

Ia tahu, tidak ada yang bisa mendengar suara tangisannya di luar gua. Gua itu terlalu dalam dan gelap. Ia hanya bisa terus berdoa dan mencoba bertahan hidup. Ia yakin suatu saat akan datang pertolongan. Ia yakin selama ini ia bukan orang jahat yang suka menyengsarakan kehidupan orang lain. Barangsiapa yang suka menolong orang lain, Tuhan Penguasa Alam pasti akan menolongnya pula dari segala penjuru, bahkan dari arah yang tidak disangka-sangka.

 

GLODAK GLODAK!!!

GUBRAK!!! GRUDUG GRUDUG!!!

“AAAAAAA…. TOLOOOOONGGGG!!!” Teriak sang Puteri mendengar suara gemuruh yang seakan dapat meruntuhkan gua yang kokoh itu. Ia sangat ketakutan.

Belum reda rasa takut dan terkejutnya, tiba-tiba terdengar ledakan dan muncul asap tebal di hadapannya. Ia langsung mundur ketakutan. Nyaris ia tercebur ke sungai.

Perlahan asap itu mewujud menjadi sosok seorang kakek tua. Kakek itu berwajah ramah dan teduh. Sang Puteri yang tadi memejamkan mata kini membuka matanya perlahan. Ia masih kaget, namun sempat berpikir inikah kakek sakti yang banyak dibicarakan orang itu.

“Sedang ape kau di sini, Cucuku?” Tanya si Kakek tua itu dengan suara yang berwibawa. Seketika Puteri ingat ayahnya yang amat ia rindukan.

“Hamba sedang menangguk ikan di sini, Kek, tapi kakak-kakak hamba meninggalkan hamba sendirian”, jawab Puteri sambil menangis tersedu-sedu. Tangisnya tak tertahankan. Tak bisa lagi ia berkata-kata.

Melihat ia menangis, Kakek itu tak tega. Dengan kesaktiannya, diubahlah air mata sang Puteri menjadi telur-telur berwarna putih bersih serupa mutiara. Kakek itupun mengubah si Bungsu menjadi seekor burung yang cantik.

“Cucuku, engkau akan dapat menolong dirimu dari penderitaan dengan cara seperti ini. Engkau kuubah menjadi seekor burung yang kuberi nama Burung Ruai. Jika aku telah tak nampak dalam pandanganmu, kaueramilah telur-telur itu sehingga menjadi burung. Kelak mereka akan jadi teman-temanmu”, ujar sang Kakek.

“Kwek…kwek…kwek…..” jawab si Puteri Bungsu yang kini telah sempurna menjadi burung cantik bersuara serupa bebek.

Wussss….

Seketika Kakek tua itu menghilang bersama asap tebal yang memenuhi gua. Puteri Bungsu yang kini menjadi Burung Ruai melihat ke sekelilingnya. Ia hanya dikelilingi oleh telur-telur yang banyak jumlahnya.

Dengan sabar, ia erami telur-telur itu hingga semuanya menetas menjadi sekawanan burung Ruai yang cantik. Burung-buurng itu terbang keluar gua dan hinggap di pohon di depan sebuah rumah besar serupa istana. Rumahnya dulu. Ia dan teman-temannya rebut bersuara, “Kwek kwek kwek kweeeek…”

Di situ mereka dapat melihat ayah sedang menghukum kakak-kakaknya karena telah menganiaya adiknya sendiri.

Sejak itu gunung dimana terdapat gua batu itu disebut Gunung Ruai. Sekarangpun, jika cuaca cerah, Gunung Ruai dapat terlihat dengan bentuknya yang memanjang.

 

#30DEM

#30daysemakmendongeng

#day29

#dongengtradisional

#kalimantanbarat

About ifaavianty1

A wife, mom of 3 sons, writer and author of about 70 books. Loves books, music, movies, cook, art n craft, history, rain, mall, coffee, tea, and pasta. Oh, and every genius :))
This entry was posted in fiksi, Uncategorized and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

1 Response to Putri Bungsu dan Gunung Ruai (Dongeng Kalimantan Barat)

  1. habib says:

    waow aku suka dongeng ini,

Leave a comment