Tentang yang Bermain di Celah Rasa

image

Judul Buku: Perjalanan Hati
Penulis: Riawani Elyta
Genre: Fiksi, novel, domestic drama, romance
Penerbit: Rak Buku
Thn terbit: 2013
Halaman : iv + 194

Cinta lama enggak mau mati juga. Mungkin ini tema sentral dari novel karya Riawani Elyta. Yaa gimana mau mati, celahnya muncul pada saat semua tidak lagi sama. Rumah tangga Maira dan Yudha dihadapkan pada ujian ketika celah masa lalu mengintip. Samar, jelas, namun seperti menarik kembali mereka pada pusaran masa lalu yang harusnya sudah ditutup rapat.

Seorang Maira yang sudah menutup masa lalunya sebagai seorang anggota Palatika alias organisasi pencinta alam di kampusnya, kembali menemukan semangat menjelajahi Anak Krakatau. Di kelompoknya ada Andri yang pernah membungakan harapan di hatinya dulu, sewaktu kuliah. Namun hingga akhir masa kuliahnya tak ada kejelasan apapun dari laki-laki itu. Nah kini masa lalu itu seakan muncul kembali, menguji keteguhan komitmennya dengan Yudha, suaminya.

Sementara Yudha pun sedang diombang-ambingkan masa lalunya bersama Donna. Itu pula yang membuatnya mengizinkan Maira pergi. Toh ia tahu ada adik Maira dan istrinya dalam rombongan tersebut.

Namun apakah masalahnya sesederhana itu ketika sepasang suami istri terkesan ‘stealing the moment’ dengan masa lalu masing-masing? Lalu mau dikemanakan biduk rumah tangga  mereka? Apakah mereka rela menukar komitmen dengan bunga-bunga masa lalu yang belum tentu sewangi kala itu?

Ini yang coba diurai Lyta, begitu saya biasa menyapa penulis berbakat ini, dalam bentuk konflik batin masing-masing tokohnya. Simple namun mencoba menggiring pembaca pada misi merawat dan memperteguh komitmen dalam rumah tangga.

Dari segi konflik dan alur yang simple mungkin akan membuat pembaca yang terbiasa dengan kejutan dalam sebuah novel menjadi cenderung tidak sabar. Namun Lyta dengan piawai mengalihkan perhatian pembaca kepada pilihan kalimat yang cukup puitis dan selipan-selipan hikmah yang tersebar. Istimewanya lagi, hikmah tersebut ‘blend in’ dalam adegan demi adegan, dengan penataan kalimat yang apik, sehingga terkesan santun dan tidak menggurui.

Salah satu kekuatan Lyta juga menggambarkan setting lokasi secara detail. Begitu pula tentang Anak Krakatau ini. Jujur saja, ini bagian yang sangat menarik bagi pembaca yang visual. Kara-kata yang dipilih Lyta seperti melukiskan atau memotret situasi lokasi dengan jelas. Saya sendiri seolah ikut backpacker-an bareng Andri dan Maira cs di bagian ini.

Jelasnya, dalam ‘pakem’ novel romance memang kadang tak perlu kejutan yang besar dan alur yang ribet. Kebanyakan pembaca hanya ingin memanjakan diri dengan gambaran mereka tentang para tokoh dan tempat serta waktu yang ada di dalam novel tersebut. Bahkan kadang ending yang tertebakpun salah satu bagian yang mereka harapkan.

Namun Lyta dengan jeli memasukkan beberapa hal istimewa sehingga novel ini menjadi bukan sekedar novel romance biasa. Amanat penulis tersampaikan dengan lembut, menyatu dengan harapan pembaca untuk menemukan bahwa at the end of the story, they were live happily ever after. Justru dengan demikian pembaca mudah menyerap nilai-nilai yang ingin disampaikan penulis. Saya menyebutnya sebagai menebar kebaikan dengan berbisik, bukan dengan berseru apalagi berteriak.

Tapi sebenarnya tidak salah juga ketika misalnya novel ini dibuat lebih konpleks, seperti gaya menulis Lyta pada novelnya yang terdahulu, seperti Tarapuccino, Persona Non Grara, Hati Memilih, dan Ping ( yang ini berduet dengan Shabrina WS), juga seperti pada novel terbarunya, Dear Bodyguard dan A Miracle of Touch. Lyta seperti sengaja menahan energinya demi membuat novel dengan konflik sederhana (single conflict) seperti ini. Akibatnya, pada beberapa bagian justru power-nya Lyta tidak keluar. Ending yang predictable dibiarkan loose, tanpa memberi kesempatan pembaca untuk mereka-reka ending versi lain, the unpredictable one. Halaman 187 hingga 191 seperti tak bertenaga. Sayang sekali, padahal Prolog dan beberapa bab sesudahnya selalu meletikkan tenaga agar pembaca terus bersenyawa dengan cerita.

Yang juga bisa saya beri catatan pada novel ini adalah kepiawaian Lyta berpindah antara adegan satu ke adegan lain. Dengan jeli Lyta memilih POV orang ketiga untuk novel ini sehingga perpindahan antar adegan menjadi lebih smooth. Pembaca dengan gampang berpindah dari setting Yudha di kantornya, Popcorn Publishing, kemudian berpindah menyoroti perjalanan Maira, Andri, dan rombongannya. Coba bayangkan jika novel ini menggunakan POV orang pertama, akan dibutuhkan beberapa kalimat lagi untuk menandakan ini sedang memotret Yudha, dan itu memotret Maira. Sebab jika tidak teliti membaca, sepintas karakter Yudha dan Maira sedikit banyak memiliki kesamaan. Untungnya Lyta mengambil Point of View orang ketiga jadi tidak terlalu terasa.

Secara umum memang lebih mudah membedakan karakter para tokoh adalah dengan mengambil POV orang pertama. Tapi untuk kenyamanan berpindah antar adegan, dan ini dibutuhkan dalam novel romance yang lebih menitikberatkan pada adegan demi adegan, bukan pada eksplorasi psikologis misalnya, pengambilan sudut pandang orang ketiga sangat membantu.

Mungkin pengambilan sudut pandang ini juga relatif sifatnya. Yang terpenting adalah pembaca bisa merasakan adanya perbedaan atmosfir setiap ganti adegan. Dan ini bagusnya novel Perjalanan Hati ini. Selayaknya menonton sebuah film drama romantis, yang memanjakan mata penontonnya dengan keindahan adegan demi adegan, novel inipun demikian. Lewat diksi yang tertata rapi, penonton seperti dibawa bertamasya ke Gunung Anak Krakatau lalu mengikuti hectic-nya pekerjaan Yudha, dengan mulus dan nyaman.

Jadi, jika anda menginginkan sebuah novel yang manis dan lembut, saya rekomendasikan novel ini. Jangan lupa sediakan secangkir teh, kopi susu, atau coklat hangat serta cemilan untuk menemani perjalanan anda membersamai Yudha, Maira, Andri, dan Donna.

Resensi ini diikutsertakan dalam Lomba Quote dan Resensi Novel Perjalanan Hati

About ifaavianty1

A wife, mom of 3 sons, writer and author of about 70 books. Loves books, music, movies, cook, art n craft, history, rain, mall, coffee, tea, and pasta. Oh, and every genius :))
This entry was posted in Uncategorized and tagged , , , , . Bookmark the permalink.

11 Responses to Tentang yang Bermain di Celah Rasa

  1. Haha, aq serasa lagi baca poin2 masukan dari editor:-) thank you sooo much, mbak ifa, juga thanks a lot udah keep on reading my novels, bener gak nih ya enggresnya, kacau balau deh jelasnya, wkwkwk

  2. selamat mba Ifa jadi pemenang pertama 🙂

  3. leyla hana says:

    wuiiih kereeen.. asiik menang

  4. Resensinya juga halus dan smooth, sama seperti buku yang diresensi 😉 Bikin saya kepengin punya buku Mba Lyta ini deh, apalagi ada tambahan detail setting tempat di Gunung Anak Krakatau. Sip siiipp…

  5. Baru baca ini, jadi penasaran dengan novel Mbk Lyta. Ulasan Mbk Ifa makjleb banget sukaaa deh ulasannya jeli 🙂 makasih jadi ikutan belajar ngereview nih

Leave a comment